Tgk. Mustafa dan Jalan Sunyi Menjaga Warisan Ulama
Oleh : Tim Penulis Liputan Advertorial - Figur Tokoh ISAD
Namanya Tgk. Mustafa Husen. Di kampung orang kenal dia dengan sebutan Tgk Husen. Juga nama kecilnya Latif. Di Banda sering dipanggil Tgk. Mustafa Woyla, atau "Buya Woyla" bagi yang lebih akrab. Di kalangan keluarga, anak-anak dan murid-muridnya memanggil "Abi Khaldun" bukan karena dia keturunan sejarawan Arab, tapi karena memang punya anak bernama Khaldun dan hobi mengutip hikmah dari sejarah umat. Kalau menulis sering melaqab diri sebagai Pengamat Bumoe Singét, Katanya itu lebih fleksibel daripada pengamat lintas keahlian.
Tgk Woyla Lahir di Ie Itam Baroh, Woyla, Aceh Barat pada 4 Maret 1983. Kampung yang jauh dari suara toa mal modern, tapi dekat dengan denting rapa’i, deru air sungai, dan suara kitab kuning dibaca malam-malam. Dari kampung inilah ia tumbuh pelan-pelan, tidak tergesa, tapi perlahan menanjak.
Pendidikan formal dimulai dari SDN Padang Jawa, lalu SMP dan SMA Negeri 1 Woyla. Setelah itu, menempuh kuliah S-1 Pendidikan Bahasa Arab di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Saat ini ia masih bergelut menyelesaikan S-2 KPI di UNISAI Samalanga bersama kawan kawan kami. Bukan karena malas, tapi karena harus berbagi waktu dengan amanah dan aktivitas di lapangan.
Namun, jalan hidupnya justru ditempa lebih kuat di lingkungan dayah. Ia menimba ilmu di Dayah Miftahul Ula Woyla, Miftahul Jannah, BUDI Lamno, hingga Darul Muarif Lam Ateuk. Kitab kuning dan cerita ulama lama lebih dulu dikenalnya ketimbang teori-teori modern yang kadang nampak akademik tapi isinya kopas kosong dari upaya berpeluh urat saraf.
Kalau orang sibuk mengumpulkan gelar, Tgk. Mustafa justru sibuk mengumpulkan naskah tua, arsip, dan manuskrip sejarah yang tercecer. Ia pernah menulis buku Abu Ibrahim Woyla, bukan untuk mengejar royalti, tapi agar anak cucu tahu bahwa ulama mereka pernah hidup dan memberi arah dan isyarah.
Ia juga ikut menyusun kurikulum dayah di tingkat provinsi, jadi asesor akreditasi Dayah 3 periode, bicara soal qanun pesantren, Qanun MPU, keluarga, narkotika, dan sebagainya. Kadang di panggung seminar, kadang di studio radio, kadang juga di warung kopi.
Kalau bicara organisasi, lumayan juga: Ketua Umum DPP ISAD, Sekretaris TASTAFI Banda Aceh, Humas Alumni Dayah BUDI Lamno, dan pendiri paguyuban Woyla Meutaloe Wareh. Tapi jangan bayangkan dia duduk di ruangan ber-AC sambil menyusun konsep. Gaya kepemimpinannya lebih banyak turun langsung ke kampung, dayah, dan forum warga.
Yang jarang disorot: selain berjiwa filantropis, ia juga suka membesarkan orang lain. Ia senang mendorong kawan-kawan tampil, agar tumbuh bersama. Tidak suka jadi 'pahlawan tunggal'. Ia tahu, hutan lebat itu terdiri dari pohon-pohon besar dan kecil.
Tgk. Mustafa tidak suka basa-basi. Ia lebih suka membicarakan hal-hal konkret. Bagaimana membantu dayah bertahan, bagaimana menguatkan posisi ulama, bagaimana agar anak muda tidak terlalu cepat lupa akar. Sering kali ia keliling kampung naik sepeda ontel, sambil membawa buku atau catatan kecil. Di waktu luang, ia membaca, menulis, dan mengoleksi barang antik rapa'i dan ontel. Kadang ikut main rapa’i, kadang duduk diam mendengar cerita orang tua. Termasuk utoh diet Aron.
Moto hidupnya, dalam bahasa Aceh, cukup tegas:
"Meunyoe na ata droe keupeu atah gob, ngui balaku tuboh, pajoh balaku atra."
Tidak seperti ular piton sekali makan hingga terancam mati karena tidak sanggup lari dari kenyataan.
Tgk. Mustafa bukan orang yang sempurna. Tapi ia tahu ke mana ingin melangkah. Ia bukan pencari pujian, apalagi pangkat. Yang ia cari adalah jalan agar ilmu tetap hidup, agar masyarakat tidak kehilangan arah, dan agar pesantren tetap punya suara.
Kalau ingin tahu seperti apa dia memimpin, lihat saja: ia lebih banyak jadi pelaksana dan seorang instruktur, bukan tak faham leadership namun sering juga sebagai konseptor. Ia jarang marah, kecuali memang sudah lama dikumpul hingga sampai puncak baru dihantam sampai mati kutu. Mungkin mirip gaya Buya, mengendap bisu lalu menerkam mematikan. [*]